
Atasan Ambu, bib Ambu dan rok Kiwari, Rama Dauhan Design Studio. Perhiasan, LAVANI.
Awal dari Segalanya
Perjalanan Rania bermula pada akhir 2019, ketika ia mengadakan pameran lukisan bertema Indonesia yang terinspirasi dari buku Pramoedya Ananta Toer. “Saya coba untuk berkreasi dengan kamera analog dan ‘playing dress up’ dengan membongkar koleksi kain dan kebaya warisan Eyang. Dan untuk seorang remaja yang masih bergejolak rasa percaya dirinya, ketika saya mengenakan pakaian tradisional, di dalam hati tumbuh perasaan untuk pertama kalinya saya melihat diri saya cantik,” ujar Rania.
Rania tumbuh besar di lingkungan keluarga Mangkunegaran dan juga merupakan cicit dari pahlawan nasional Muhammad Yamin. “Di keluarga inti saya, kami terbiasa di mana perempuan justru menjadi penggerak utama, jadi sejak kecil saya terbiasa untuk dipercaya mengurus keperluan keluarga hingga saat ini.”
Sosok eyang dan ibu menjadi inspirasi bagi Rania, belajar mencintai budaya Jawa namun tetap ditempa menjadi perempuan yang tangguh dan mengenal jati diri. “Mereka yang pertama kali memperkenalkan terhadap hobi saya membaca buku Indonesia klasik, secara tidak sengaja. Buku-buku tebal ini ada dalam sekeliling saya sejak saya kecil,” ungkapnya. Ada tiga buku yang menjadi favorit Rania sampai hari ini yaitu Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dan 6000 Tahun Sang Merah Putih karya sang kakek, Muhammad Yamin.
Rhinestone Embellished Mia Dress, Twirl Beaded Top Handle, Leandra Heels
Luaran Kiwari, top Astu dan rok Kiwari, Rama Dauhan Design Studio. Perhiasan, LAVANI
Menjadi Konten Kreator: Membuka Pintu Keraton ke Dunia
Transformasi Rania menjadi content creator terjadi secara organik. Awalnya, ia hanya membagikan foto-foto dirinya berkebaya di Instagram saat Hari Kartini pada 2020. Respon positif dari teman-teman dan pengikutnya membuat Rania semakin percaya diri dan rutin mengenakan kebaya, bahkan di kehidupan sehari-hari—sebuah langkah yang menginspirasi banyak anak muda untuk mulai mencintai budaya sendiri namun tetap modern. “Di awal saya buat konten mengenakan kebaya, follower saya masih 1000an. Saya memakai semua koleksi eyang dan ibu, sampai ke aksesori dari atas sampai bawah, sebenarnya saya cukup sering mendaur ulang dari lemari Eyang dan bikin gaya saya sendiri.”
Jangan pernah percaya kalau ada orang bilang semuanya bakal baik-baik saja. Kita harus selalu berjaga-jaga, karena mimpi buruk bisa terjadi kapan saja. Tapi ketika itu terjadi, ternyata masih banyak hal baik yang tersisa dalam hidup.
Pandemi menjadi momentum penting ketika konten Rania mulai viral. “Saat pandemi, banyak kegiatan kita di rumah dan banyak waktu kita melihat konten di HP, lalu saya mulai aktif di instagram dan kemudian TikTok, awalnya bikin sesuatu yang sederhana seperti membagikan sisi-sisi kehidupan Mangkunegaran yang selama ini banyak yang tidak tahu. Saya ingin memperlihatkan banyak kesamaan yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari.” Salah satu video viralnya adalah ketika ia memperlihatkan kamar mandi kuno di istana, lengkap dengan gayung dan sabun tradisional. Dari sana, permintaan untuk memperlihatkan bagian-bagian lain istana pun berdatangan, dan Rania mampu membuat Mangkunegaran terasa lebih dekat dan membumi di mata masyarakat luas melalui konten sehari-hari.
Kini konten Rania semakin banyak yang mengikuti dan kini ia pun menjalani profesi sebagai pembuat konten secara profesional. Oleh sebab itu ia justru semakin menyadari atas tanggung jawabnya menggunakan platform media sosial dengan baik. Menyadari peran sebagai jembatan antara tradisi dan brand modern, mengemas budaya dalam format yang mudah diterima generasi muda, dan tetap menjaga otentisitas narasi lewat storytelling yang personal dan eksklusif.
Rompi tenun, Fbudi untuk Cita Tenun Indonesia. Rok, Josephine Anni. Headpiece, Hummingbird Road. Perhiasan, LAVANI.
Kemandirian Sejak Dini dan Proses Pendewasaan
Di balik persona publiknya, Rania adalah sosok yang sangat mandiri. Ia mulai mencari penghasilan sendiri sejak usia 17 tahun, seperti menjual lukisan karya-karyanya. Di dunia media sosial, mudah sekali untuk publik menyimpulkan kehidupan seseorang. Namun, saat wawancara dengan Her World Indonesia, Rania ingin berbagi tentang proses kehidupannya yang penuh dengan naik turun.
“Saya rasa pasang surut kehidupan pasti akan terjadi di setiap keluarga dan tidak luput itu juga terjadi di keluarga saya sendiri. Sebagai anak perempuan paling kecil saya sudah pernah merasakan mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Bisa dibilang bila dibandingkan putus cinta, ini sakitnya lebih dalam. Dan saat kita merasa ada titik terendah, kita harus belajar mengenal diri kita dan bangkit,” ungkapnya. Rania juga menekankan pentingnya menjadi “tiang” bagi diri sendiri. Ia percaya, di usia berapa pun, perempuan harus belajar mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang tua, justru harus bergantian menjaga mereka bila sudah saatnya.
Blazer, KLÉ. Perhiasan, LAVANI.
Literasi dan Cita-cita
Kecintaan Rania pada literasi dan Bahasa Indonesia seperti mendarah daging, Ia dengan konsisten memilih untuk belajar sastra di Universitas Indonesia. “Saya sangat cinta dengan Bahasa Indonesia dan ini juga saya perkenalkan dalam konten media sosial. Saya ingin menjadi penulis dan bermimpi menerbitkan buku yang berisi refleksi hidup dan metafora perasaannya—sebuah catatan kehidupan yang bisa menginspirasi banyak orang.”
Rania percaya, setiap perempuan muda harus realistis dan siap menghadapi kenyataan hidup, bukan sekadar percaya bahwa “semua akan baik-baik saja.” Ia mengingatkan pentingnya berjaga-jaga dan tidak larut dalam patah hati, karena hidup menawarkan spektrum pengalaman yang jauh lebih luas. Ia juga menekankan pentingnya membangun kepercayaan diri dari dalam, serta menjadi pribadi yang bisa diandalkan, bukan hanya mengandalkan orang lain.