Woman Now

Menjadi Perempuan Di Era Modern, Sudah Lebih Mudah?

By : Her World Indonesia - 2025-04-09 11:30:00 Menjadi Perempuan Di Era Modern, Sudah Lebih Mudah?

Diperingati pada 21 April setiap tahunnya, membuat Hari Kartini menjadi jeda bagi banyak perempuan Indonesia untuk mengingat kembali perjuangan dan agenda panjang yang terus diupayakan. Tanpa terkecuali bagi Najwa Shihab (47), Enzy Storia (32), dan Prilly Latuconsina (28) yang membagi perspektifnya pada Her World Indonesia. “Hari Kartini menurut saya adalah momen pengingat bahwa kita tidak boleh berhenti untuk memperjuangkan hak-hak perempuan karena masih banyak perempuan di luar sana yang lingkungan atau infrastrukturnya tidak mendukung,” ujar Prilly.


Di sisi lain, Enzy Storia mengingat perayaan Hari Kartini dalam memori semasa kecil yang selalu excited memakai pakaian adat hingga dewasa dengan kebaya, menunjukkan keunikan masing-masing perempuan. Ia juga selalu menyadari bahwa R.A. Kartini memiliki privilege pada masa itu melalui pendidikan yang layak dan kesempatan lainnya yang tidak semua orang dapatkan. Hal ini juga yang membuatnya menyadari bahwa privilege yang dimilikinya saat ini juga harus bisa digunakan untuk membantu memberdayakan perempuan-perempuan lainnya.



(Najwa Shihab. Foto: Dok. Gustama Pandu/Her World Indonesia)


“Bagi saya, Kartini itu sangat progresif di zamannya dan yang paling berkesan bagi saya adalah ia menuliskan pengalamannya. Itu yang membuat Kartini berbeda jadi kita tahu apa yang diperjuangkan Kartini lewat tulisannya. Dengan menulis, Anda akan diingat,” ungkap jurnalis sekaligus pendiri Narasi, Najwa Shihab.


R. A. Kartini menjadikan setiap lembaran kesempatan yang dimilikinya sebagai bagian dari perjuangan untuk kesejahteraan perempuanperempuan Indonesia saat ini. Kebiasaan Kartini yang sejak kecil selalu gemar membaca dan peduli dengan lingkungan sekitarnya harus menjadi inspirasi oleh perempuan-perempuan Indonesia.


(Baca Juga: Wah! Ini 6 Tips Selektif Memilih Pasangan yang Tepat)


Isu Perempuan Bukan Isu Tahunan


Merayakan Hari Kartini dengan perasaan bangga menjadi perempuan bersama lapisan agenda kesetaraan gender yang diupayakan, tentunya tidak lepas dari masih kurangnya diskusi terbuka tentang kesetaraan itu sendiri. Ketidaksetaraan yang hadir ini merupakan bentuk dari kurangnya keterlibatan perempuan dalam ranah-ranah diskusi besar di structural system yang ada.


“Orang harus tahu dulu bahwa isu perempuan adalah isu semua. Sekarang, saya merasa seperti berada di echo chamber. Kita bicara isu perempuan di kalangan orang-orang yang memang sudah punya pemahaman tentang kesetaraan gender. So, we are preaching to the same choir, dan yang sekarang juga perlu diwaspadai adalah feminis itu dianggap negatif,” tambah Najwa yang masih merasa ada banyak orang yang belum terpapar edukasi terkait perempuan.


Najwa menyayangkan ada banyak asumsi tidak berdasar yang melukai makna feminisme itu sendiri. Pengalaman perempuan yang kerap kali menerima tuduhan, serangan, dan tidak menemukan ruang aman untuk bicara membuat banyak perempuan cenderung defensif. Sebab, realitanya masih banyak perempuan yang termarjinalisasi yang sejak awal identitasnya sudah disalahkan.


Enzy dan Prilly juga setuju jika diskusi terbuka tentang perempuan dalam ranah politik masih banyak yang belum tuntas. Di setiap level sosial masih terdapat isu yang saling tumpang tindih dan berlapis sehingga pembahasan mengenai perempuan belum mendapatkan perhatian yang utuh dan sering dianggap sebagai isu tahunan. Padahal, untuk menghadirkan society yang selaras dan sejahtera diperlukan adanya kesejahteraan terhadap perempuan itu sendiri.



(Prilly Latuconsina, Enzy Storia, dan Najwa Shihab berbincang seputar kehidupan perempuan saat ini. Foto: Dok. Gustama Pandu/Her World Indonesia)


Bukan Objek Perbandingan


Sejak remaja hingga menjadi seorang ibu, kemampuan perempuan terus dibandingkan dan dipertanyakan. Hal ini juga diamini ketiganya bahwa sejak pertumbuhannya, ada banyak perempuan yang hidupnya terus dibandingbandingkan, haknya terus dipertanyakan, dan keinginannya terus ditunda.


“Setiap tahapan dalam kehidupan seorang perempuan itu selalu dibanding-bandingkan kemudian dipersalahkan,” ungkap Najwa. Tidak hanya identitasnya yang terus dipertanyakan, mimpinya yang terus diragukan, tetapi kehidupan dan pilihannya juga harus sesuai dengan struktur kecantikan. Perempuan dipaksa kehilangan kontrol untuk dirinya sendiri agar bisa mendapatkan kesempatan.


“Dulu saya pernah tidak makan, hanya makan timun supaya kurus. Awal-awal berkarier saya casting iklan dan banyak ditolak. Dibilangnya mukanya terlalu bule, terlalu dewasa, dan saya pada saat itu gemuk. Akhirnya tahu bahwa standarnya harus kurus, akhirnya saya diet sampai makan timun saja. Semua obat diet diminum sampai sakit-sakitan,” ungkap Enzy mengingat kembali pengalamannya saat harus merelakan kesehatan dan kehendak atas dirinya untuk memenuhi standar kecantikan pada masa itu.



(Enzy Storia. Foto: Dok. Gustama Pandu/Her World Indonesia)


Ketiganya juga menyetujui jika kondisi perempuan saat ini cukup kompleks dan rentan, apalagi di dalam diri perempuan itu sendiri. “Saya pernah membaca adanya Queen Bee Syndrome ketika perempuan memiliki kecenderungan sosial yang akhirnya membuatnya menjatuhkan perempuan lain karena ia dulu mungkin susah untuk mendapatkan posisi itu. Saya sih belum pernah mengalami yang namanya di-bully di platform saya tapi melihat dengan nyata bahwa itu [support sesama perempuan] itu belum terasa dan saya menyayangkan sekali hal tersebut,” jelas Enzy.


Bagi aktris Prilly Latuconsina, ada banyak kondisi modern yang membuat perempuan merasa harus bersaing satu sama lain. Sepanjang perjalanan kariernya dalam industri, ia melihat ada banyak pekerja film di balik layar yang masih didominasi laki-laki serta pekerja perempuan yang harus menghadapi stigma dan jarang mendapatkan kesempatan untuk bisa memiliki posisi yang diimpikan hanya karena identitasnya sebagai perempuan. “Padahal, kunci untuk zaman sekarang adalah kolaborasi,” ungkap Prilly.


Mengejar Kesetaraan


Perempuan tidak harus berada di belakang laki-laki, tidak pula mengejar kesamaan, tetapi ingin terlibat langsung, sejajar, dan kolaboratif dengan laki-laki, untuk mendukung mimpi-mimpi besar yang dunia miliki. Perempuan dan laki-laki harus mampu saling mendukung, bahkan dari salah satu ranah personal seperti pernikahan. “Peran [dalam pernikahan] itu dimainkan bergantian tergantung porsi dan kebutuhannya apa,” ungkap Najwa.


Seolah mengamini hal ini, Enzy mengutarakan bahwa perempuan yang kuat juga tetap membutuhkan sosok laki-laki. Ia melanjutkan jika asumsi perempuan yang terlalu mandiri, susah diatur, terlalu keras tidak jarang membuat laki-laki insecure untuk mendekati perempuan termasuk dirinya yang pernah berada di fase tersebut.

“Saya terbiasa tidak ada figur laki-laki di rumah atau lingkungan saya. Menyadari bahwa saya tumbuh besar dengan perempuan-perempuan kuat di sekeliling saya, tanpa ada figur laki-laki. Itu membuat saya susah dapat pasangan, bahkan saya pikir tidak apa-apa untuk tidak menikah. Namun, ketika saya akhirnya bertemu pasangan yang sekarang, saya sadar bahwa saya memang butuh sosok laki-laki dalam hidup,” jelas Enzy.



(Prilly Latuconsina. Foto: Dok. Gustama Pandu/Her World Indonesia)


Kesetaraan gender dan nilai-nilai feminisme yang perempuan upayakan sejak awal bukan untuk menyaingi posisi laki-laki tetapi untuk berkolaborasi dalam mengemban beban dunia bersama melalui perannya masingmasing. Apa yang diusahakan oleh para perempuan Indonesia sejak Kartini dan para pendahulunya berangkat dari kesadaran bahwa untuk menciptakan masyarakat dan peradaban yang berkualitas, perlu adanya keterlibatan perempuan yang setara dan sejahtera. “Dunia akan lebih baik kalau perempuan setara dengan laki-laki,” ungkap Najwa.


(Baca Juga: Penting! Ini 7 Manfaat Slow Living untuk Hidup)


Memang kata “perempuan” dan nama “Kartini” selalu menghadirkan banyak sudut pandang, cerita, sampai imaji yang terus berubah setiap waktunya. Namun, satu hal yang masih sama hingga hari ini adalah realita bahwa ruang yang hadir masih belum memberikan kesetaraan dan perayaan yang layak bagi perempuan. Selalu menjadi pekerjaan banyak pihak untuk membangun ruang lebih aman bagi sesama perempuan untuk terus berkarya dan bersama perjuangkan kesetaraan. Kamu bisa simak obrolan lengkapnya di kanal YouTube Her World Indonesia.


(Penulis: Adila Firani)


Woman Now